Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada KHR As’ad Syamsul Arifin dalam upacara di Istana Negara Jakarta, Rabu (9/11/2016).
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional itu berdasar Keputusan Presiden Nomor 90/TK/Tahun 2016 tanggal 3 November 2016 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional
Kiai As’ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi’ib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram.
Perjuangannya dalam menegakkan agama Islam ahlussunnah wal jama’ah sungguh luar biasa. Termasuk Kyai As’ad dikenal sebagai figur yang gagah berani mengatakan kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipadukan dengan beladiri yang membuatnya dikenal sakti mandra guna.
Kiai As’ad menempuh pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali ngaji di Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain: Sayyid Abbas Al Maliki, Syaikh Hasan Al Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan lain-lain.
Sepulangnya ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren: Ponpes Sidogiri (KH Nawawi), Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo (KH Khazin), Ponpes Kademangan Bangkalan (KH Kholil) dan Ponpes Tebuireng (KH Hasyim Asy’ari).
Peran Kiai As’ad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sangat nampak sekali. Dimana ia merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan yang diutus menemui KH Hasyim Asy’ari memberi “tanda restu” pendirian NU.
NU bagi Kiai As’ad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para waliyullah. Maka harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia akan dikawal waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.
“Saya ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sebab saya menerima NU dari guru saya, lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya, jadi kamu harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga,” tegas Kiai As’ad.
Perjuangan Kiai As’ad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, 10.000 orang yang ada disana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai As’ad dalam beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.
Ketegasan Kiai As’ad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila tahun 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kiai As’ad.
Tanggal 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima Pancasila.
Gagasan besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH As’ad bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan KH Ali Ma’shum. Akibat dari menerima Pancasila itu, KH As’ad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau dibunuh.
Itu semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan NKRI.
Di usianya ke 93, Allah Swt memanggil Kiai As’ad. KH As’ad Syamsul Arifin berpulang keharibaan-Nya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo
Kiai As’ad merupakan ulama sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hingga akhir hayatnya.
Ia merupakan penyampai pesan (Isyarah) yang berupa tongkat disertai ayat Al Quran dari KH Kholil Bangkalan untuk KH Hasyim Asy’ari, yang merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).
Sumber :
http://news.okezone.com/
http://www.nu.or.id/